Diajukan untuk memenuhi syarat penilaian tugas Pendidikan IPS di SD II
Disusun oleh :
Nama : ROSI WINDIYANI RAHAYU
NIM : 06.316.1111.160
Kelas : PGSD D
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI 2013
Jl. R. Syamsudin, No. 50 Sukabumi Tlp. (0266) 218345, Fax. (0266) 218342
Website : www.ummi.ac.id E-mail : info_ummi@yahoo.com
Menganalisis
Video Tawuran SMA 70 VS STM 712 JR
di Lihat dari :
1. Konteks IPS
2. Konteks IPS tersebut merujuk pada Taksonomi Bloom yang dibuat untuk tujuan pendidikan
3. Apakah Nilai Nasionalisme Kelompok bisa mempengaruhi/merambah ke tingkat global?
4. Perilaku Sosial
5. Solusi
Jawaban:
1. Konteks IPS
1) Psikologi Sosial : dilihat dari aspek ini, dapat disimpulkan bahwa; mental yang lemah, tidak mau dibilang cupu/culun, serta pencarian jati diri, salah persepsi, sikap yang negatif , kurang pemahaman agama bahkan hingga persoalan identitas kelompok dan tempat sekolah. Identitas kelompok yang mengeras dan eksklusif menimbulkan jarak dengan kelompok lain dan amat mudah bergesekan dan menimbulkan konflik seperti tawuran.
2) Politik : dilihat dari aspek ini, dapat disimpulkan bahwa;
Ø Kebijakan dan pengambilan keputuasan dianggap kurang tepat. Misalnya kebijakan UN yang ditetapkan pemerintah turut serta dalam perwujudan konflik/tawuran antar pelajar. Hal ini disebabkan karena para pelajar merasa terkekang dalam sebuah kebijakan menurut mereka telah mengeksploitasi waktu, serta pikiran mereka. Walhasil, mereka akan melakukan upaya untuk terbebas dari aturan-aturan tersebut dengan melampiaskan dalam konfrontasi fisik.
Hal tersebut dimanfaatkan oleh pemegang otoritas untuk melanggengkan statusnya. Memanfaatkannya dengan cara membangun opini publik bahwa para pemuda di Indonesia masih belum mampu menduduki otoritas kekuasaan politik di Indonesia,
Ø Prosedur pendidikan dipemerintah juga berpengaruh terhadap konflik/tawuran yang marak terjadi di Indonesia, pendidikan di Indonesia cenderung memaksakan seorang pelajar untuk berpikir sesuai dengan kurikulum yang dibuat oleh pemerintah. Kurikulum tersebut cenderung mengeksplorasi kemampuan berfikir dari pelajar. Akibatnya para pelajar merasa di penjara oleh fakta sosial pendidikan yang ada sehingga ingin melakukan hal yang menurut mereka di luar dari fakta sosial dan bersifat deviance.
3) Sosiologi : dilihat dari aspek ini, saya bisa menyimpulkan bahwa;
Ø Rasa solidaritas kelompok yang besar terhadap sesama anggota kelompok/teman.
Ø Akibat dari fenomena tersebut kini mengkristal menjadi hal bersifat sistematik. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam alasan mulai dari altruisme berlebihan bahkan sampai ke pembalasan dendam.
Ø Aspek hilangnya keteladanan dan anutan (role model) bagi pelajar untuk mencontoh perilaku positif. Cakupan anutan yang biasanya berusia lebih tua itu-mulai dari orangtua, guru, kepala sekolah, hingga para penguasa kita. Inilah buah dari praktik-praktik tak patut pata “orang tua” kita yang menghiasi media dan layar kaca setiap hari. Yakni, praktik seperti korupsi, konflik antar kelompok, kebohongan public, dan lain-lain.
4) Ekonomi : dilihat dari aspek ini, dapat disimpulkan bahwa; tawuran dapat terjadi karena kecemburuan sosial. Karena biasanya para pelaku tawuran adalah golongan pelajar menengah kebawah, ini disebabkan faktor ekonomi mereka yang pas-pasan bahkan cenderung kurang membuat melampiaskan segala ketidak berdayaan lewat aksi perkelahian tersebut, karena diantara mereka merasa/dianggap rendah ekonominya dan akhirnya ikut tawuran agar dapat dianggap jagoan.
5) Geografi : dilihat dari aspek ini, dapat disimpulkan bahwa faktor dari:
Ø Keluarga : rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (enatah antar orang tua/pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika nremaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirinya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.
Usia remaja juga merupakan masa pencarian identitas dirinya. Ketika komunikasinya dengan orang tua tidak terjalin dengan baiik, maka penghargaan anak terhadap orang tua pun menjadi berkurang. Akibatnya, apapun nasehat dari orang tua tidak didengarkan.
Selain itu, orang tua yang terlalu otoriter juga menjadi salah satu penyebab anak justru mencari kepuasan dirinya dengan melakukan hal-hal negative (seperti tawuran) dan ia menjadi mudah terpengaruh oleh lingkungan yang justru mendukung perilakunya.
Ø Lingkungan pergaulan : dilihat dari aspek ini, dapat disimpulkan bahwa lingkungan teman sebaya (peer educator) juga sangat menentukan. Karena mayoritas waktunya dihabiskan bersama dengan teman sebaya. Apalagi jika ia mendapat pengakuan lebih dari Peer Educator dibandingkan dengan keluarganya.
Ø Sekolah : dilihat dari aspek ini, dapat disimpulkan Suasana sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar juga akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya. Seringnya, guru malah lebih berperan sebagai penghukum dan pelaksana aturan. Bahkan otoriter dan seringkali menggunakan cara kekerasan (walau dalam bentuk yang berbeda-beda). Padahal seharusnya, sekolah menjadi tempat yang nyaman untuk siswa mendapatkan pendidikan. Selain itu, perilaku dari guru dan sistem yang ada di sekolah akan menjadi percontohan bagi murid dalam berperilaku. Selain itu, pengawasan dari sekolah pun perlu lebih ditingkatkan. Pihak sekolah harus lebih peka terhadap isu-isu yang beredar di kalangan siswa sehingga dapat cepat ditindak. Pembelajaran tentang agama pun harus lebih ditingkatkan. Setidaknya pembelajaran bahwa konflik antar sekolah tidak harus diselesaikan dengan cara tawuran.
Ø Lingkungan : dilihat dari aspek ini, dapat disimpulkan bahwa lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional.
6) Sejarah : dilihat dari aspek ini, dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang sudah mengakar, dalam artian ada sejarah yang mengakibatkan pelajar-pelajar dua sekolah saling bermusuhan. Kadang permasalahan antar pelajar dipicu pula dengan adanya sejarah permusuhan yang sudah ada dari generasi sebelumnya dengan sekolah lain, beredarnya cerita-cerita yang menyesatkan, bahkan memunculkan mitos berlebihan membuat generasi berikutnya, terpicu melakukan hal yang sama.
7) Antropologi : dilihat dari aspek ini, dapat disimpulkan bahwa Dalam kerangka antropologi, tawuran adalah semacam perekat identitas khaas kelompok dan berperan sebagai ritus akilbalig atau inisiasi (rites of passage) bagi para anggota baru kelompok. Dalam masyarakat tradisional, ritus ini bisa berupa tudas perburuan hewan. Namun, dalam konteks sekolah yang memiliki budaya tawuran, ritusnya adalah tawuran itu sendiri. Jadi, seorang pelajar-baru tidak akan dianggap sah menjadi bagian dari kelompok pelajar yang lebih besar jika dia tidak melewati ritus akilbalik berupa tawuran. Sekaligus, ritus tawuran akan menegaskan identitas kelelakian seorang pelajar., sebuah prestasi yang kemudian bisa dibangga-banggakan kepada khalayak lebih luas. “Filosofi” ritus tawuran jadinya adalah upaya menunjukkan kekuatan fisik khas laki-laki yang militant atas orang lain. Akibatnya, terciptalah budaya militerisme. Tanpa melakoni ritus tawuran, seorang pelajar akan diberikan stigma sebagai “warga kelas dua” atau warga belum dewasa yang tidak memiliki martabat dan hak penuh sebagaimana mereka yang sudah melewati tawuran. Stigma inferior itu juga tercermin dalam istilah-istilah ejekan yang dilekatkan kepada siswa anti-tawuran.
Serta alumni juga merupakan salah satu faktor yang tidak bisa dilupakan sebagai faktor penyebab tawuran. Konflik antar pelajar remaja telah menjadi adat dari remaja itu sendiri. Hal ini menciptakan suatu nilai dalam remaja bahwa yang tidak ikut dalam tawuran adalah remaja yang pengecut. Atas dasar inilah, para remaja menjadi bersikap militan terhadap kelompoknya sekalipun mereka tidak mengetahui sebab konflik itu terjadi. Selain itu, ada beberapa siswa yang merasa tertekan dengan doktrin beberapa alumni yang mengatakan bahwa tawuran merupakan adat turun temurun dan diannggap sebagai angkatan yang cupu kalau tidak dilakukan lagi.
2. Konteks IPS tersebut merujuk pada Taksonomi Bloom yang dibuat untuk tujuan pendidikan
Taksonomi yang dibuat untuk tujuan pendidikan. Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi kembali kedalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya. Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
1. Cognitive Domain (Ranah Kognitif), yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
2. Affective Domain (Ranah Afektif) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
3. Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor) berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.[1]
Dapat disimpulkan bahwa, yaitu:
1. Ranah Kognitif : cara untuk meningkatkan ranah tersebut pada pelajar kita dapat meningkatkan pengetahuannya dan keterampilannya dengan merubah kurikulum pada setiap sekolahan yang tidak memberatkan para pelajara.
2. Ranah Afektif : cara untuk meningkatkan ranah ini pada pelajar yaitu dengan cara selalu menanamkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih muda darinya. Serta tanamkan pemahaman tentang agama sedini mungkin.
3. Ranah psikomotor : cara meningkatkan ranah ini dengan cara kita bisa mengadakan gotong royong setiap seminggu sekali atau mereka diajak untuk kreatif membuat suatu kerajinan tangan yang mereka sukai.
Jadi yang harus ditingkatkannya adalah pada diri para pelajar itu sendiri dengan bantuan orang-orang yang ada disekitarnya. Seperti keluarga, guru-guru dan bisa saja ustad yang ada disekitar rumahnya.
3. Apakah Nilai Nasionalisme Kelompok bisa mempengaruhi/merambah ke tingkat global?
Jika kita lihat dari pengartian Nasionalisme itu sendiri, Nasionalisme merupakan rasa memiliki dan mencintai yang tinggi terhadap tanah air, tempat kelahiran maupun tempat tinggal. Secara sadar atau tidak sadar rasa memiliki ini membuat seseorang individu ataupun sebuah kelompok tergerak dalam rasa persatuan merelakan hidupnya, mempertahankan existensi teriotori tersebut. Nasionalisme dapat bersifat positif bila sejalan dengan rasa kita sebagai warga negara cinta terhadap tanah air kita, namun dapat bersifat negatif bila masih terdapat rasa semaunya atau semena-mena, terhadap kaum atau golongan yang ada dibawah sehingga terjadilah perasaan menguasai dibanding yang lain, sehingga takut tersaingi. Kejadian semacam itu dapat menyebabkan keadaan-keadaan yang dapat memicu perselisihan dalam hubungan sesuatu bangsa ataupun saat berhubungan dengan negara lain(mayall.1944).[2]
Bisa saja, jika nilai nasionalisme itu bersifat positif seperti halnya kalau melihat dari aspek sejarah, zaman kemerdekaan memang menerapkan cinta tanah air dengan positif, yaitu dengan melakukan pembelaan-pembelaan atau kebenaran-kebenaran untuk kemerdekaan bangsa Indonesia yang dilakukan oleh para pahlawan kita. Hal tersebut jelas para pahlawan memberikan makna nasionalis yang positif. Kita paham bahwa di era kemerdekaan bangsa Indonesia sangat tradisional sekali baik fisik maupun material. Bangsa Indonesia tidak memiliki apa-apa, hanya bermodal bambu runcing dan tekat keberanian yang kuat untuk melawan penjajah. Para pahlawan kita terus berjuang demi kebenaran serta mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia ini, apapun caranya dilakukan demi rakyat Indonesia. Sangatlah besar sekali jasa-jasa para pahlawan kita. Oleh karena itu kita perlu sekali mendoakan, dan mengenang jasa jasa pahlawan bangsa Indonesia. Itu makna nasionalisme yang sangat positif.
Nah jika sekarang ini nilai tersebut bisa mempengaruhi ke tingkat global sama saja jika bersifat positif kita bisa menjaga kerukunan dengan tetangga atau masyarakat lainnya atau masyarakat daerah lain. Atau bisa saja kita mempertahankan negara kita dari kejahatan negara lain.
Tapi tidak dipungkiri juga bisa saja dari nilai nasionalisme yang bersifat negatif yaitu seperti apa makna nasionalisme di era modernisasi ini. Bangsa Indonesia saat ini sedang mengalami krisis, baik social, budaya, mapun agama. Hal itu disebabkan karena bangsa Indonesia kurang memaknai rasa nasionalisme dengan sungguh-sungguh. Banyak kasus atau masalah yang sering terjadi pada bangsa ini. Satu permasalahan belum selesai, datang masalah berikutnya dan seterusnya. Sangat ironis sekali. Masalah korupsi semakin meningkat, hutang Negara semakin lama semakin bertambah, pihak asing ada yang mengintervensi baik budaya maupun ekonomi bangsa Indonesia, hal tersebut karena kita kurangnya rasa cinta tanah air secara mendalam pada bangsa Indonesia ini. [3]
Serta bisa saja nilai nasionalisme itu ada ketika suatu kelompok atau salah satu warga masyarakat suatu daerah mengalami masalah dengan salah satu warga masyarakat daerah lain. Warga tersebut bercerita kepada tetangganya tentang masalah tersebut akhirnya tetangga tersebut menyebar luaskan kepada warga lain. Karena merasa dilecehkan atau tersinggung maka yang tadinya masalah itu hanya dengan satu warga saja, sekarang menjadi meluas. Maka terjadilah perang atau tawuran antar warga desa atau kampung, yang seharusnya tidak terjadi. Ini semua karena warga tersebut menyikapi atau memaknai nilai nasionalisme tersebut dari sudut pandang yang salah dan negatif. Jika memaknainya dengan positif hal tersebut tidak akan terjadi pertikaian atau pun tawuran antar desa ataupun kampung.
Andai kita bisa menerapkan konsep berdikari seperti yang diterapkan oleh Bung Karno, maka Negara ini akan damai dan sejahtera. Rasa gotong royong lebih ditingkatkan demi publik of interest pasti akan lebih baik. Private of interest saat ini lebih mendominasi sehingga rasa gotong royong dan berdikari mulai luntur secara perlahan lahan. Hal tersebut bisa membahayakan rakyat Indonesia. Alangkah Indonesia kita menciptakan rasa nasionalisme dengan menciptakan bangsa yang cinta akan kebenaran. Bangsa yang cinta akan perdamaian. Jujur, adil, maka rakyat akan sejahtera. Wujudkan rasa nasionalisme dengan menghargai perbedaan sesame bangsa Indonesia. Wujudkan dengan rukun tanpa tawuran, demo dan hal negative lainnya. Yang terpenting adalah makna jujur dan adil. Jika makna jujur dan adil diterapkan dengan menyongsong nilai kebenaran maka bangsa Indonesia ini akan menjadi bangsa yang sejahtera. Hindari kepentingan pribadi , utamakan kepentingan golongan atau publik.
4. Perilaku Sosial
Menurut saya hal tersebut termasuk kedalam perilaku sosial yang menyimpang dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku. Peyimpangan terhadap kaidah-kaidah dan nilai-nilai dalam masyarakat disebut deviation, serta orang yang berperilaku menyimpang disebut deviants. Serta terdapat tindakan sosial yaitu tindakan afektif (tindkan ini lebih didominasi oleh perasaan atau emosi dan kepura-puraan atau dibuat-buat sehingga dering kali tindakan afektif ini sulit dipahami atau tidak rasional. Misalnya saja tawuran tersebut, mereka hanya ingin memperlihatkan bahwa mereka itu kuat, berani dan selalu mengikuti emosinya tidak memikirkan apa akibat yang akan terjadi. Dilihat dari faktor interaksi sosial adalah imitasi, dan sugesti yang bersifat negatif. Mengapa termasuk ke imitasi karena mereka meniru alumni-alumni mereka untuk melakukan tersebut, tanpa menghiraukan akibatnya. Jika dilihat dari sugesti salah satu anggota kelompok atau pelajar tersebut menerima saja apa yang dikatakan serta apa yang diceritakan kepadanya sehingga dia mengikutinya, tanpa tahu akibatnya juga.
5. Solusi
Dari uraian di atas, dapat kami simpulkan beberapa solusi untuk mengurangi konflik yang terjadi pada pelajar remaja. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menata ulang
kurikulum pendidikan di Indonesia yang sesuai dengan kultur budaya di Indonesia. Hal ini dapat membuat siswa menjadi nyaman dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Apabila siswa merasa nyaman, maka mereka tidak akan mencari kegiatan lain yang dapat mencelakakan diri dan orang lain serta cenderung untuk tidak melakukan penyimpangan. Kenyamanan juga dapat
berpengaruh kepada rasa memiliki dan cinta almamater. Dampaknya, siswa akan memikir dua kali jika akan melakukan tawuran. Karena jelas mencoreng nama baik almamater dan pribadi
Selain itu diharapkan pihak sekolah selaku institusi pendidikan harus mampu menciptakan suasana yang nyaman bagi siswa. Pihak sekolah juga harus mampu membuat kegiatan yang dapat mengisi waktu luang para siswanya. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah kontrol dari lembaga inti yakni lembaga keluarga. Dalam sebuah keluarga hendaknya terdapat hubungan
yang komunikatif sehingga dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam anggota keluarganya. Keluarga dan sekolah merupakan dua aspek penting yang dapat berpengaruh pada kontrol diri dari anak. Harus terjadi komunikasi yang baik antara keluarga – individu – sekolah sehingga keluarga dapat mengetahui perkembangan anak dari segi kognitif maupun perilaku agar anak tidak terlalu jauh terjerumus pada hal-hal negative yang didapatkannya di luar lingkup keluarga. Selain itu, perkuat juga undang-undang yang mengatur tentang tawuran berikut hukumannya.
Kemudian kita bisa merumuskan sejumlah solusi konkret demi memutus mata rantai tawuran yang sudah demikian melembaga. Pertama, mengalihkan rites of passage tawuran yang berbau militerisme kea rah budaya militer yang genuine (sungguhan). Maksudnya, para murid SMU bisa diberikan latihan kemiliteran selama, misalnya satu bulan, sebagai ganti program masa orientasi siswa (MOS). Tujuannya, supaya siswa mendapatkan nilai-nilai militer sejati yang positif: patriotisme, jiwa ksatria, kehormatan, etika, dan lain sebagainya. Dengan begitu, budaya militerisme berubah menjadi budaya militer yang lebih
konstruktif. Pemberian latihan militer ini, sebagai contoh, juga sudah dicoba di sejumlah politeknik dan terbukti berhasil meredam potensi kekerasan di antara mahasiswa. Kedua, kita semua seyogyanya mulai memberikan tingkah-laku penuh teladan kepada para generasi di bawah kita supaya tercipta rasa hormat siswa terhadap mereka yang lebih tua. Terutama lagi yang perlu memberikan teladan adalah orangtua, keluarga dekat adalah orangtua, keluarga dekat, dan guru. Sebab, merekalah yang pada hakikatnya bersentuhan langsung dan dari waktu ke waktu dengan siswa. Terakhir, perlu diberikan suatu pelajaran etika, atau filsafat moral dalam bahasa Kees Bertens (Etika, 1995), dalam kurikulum SMU. Khususnya lagi, etika kepedulian itu seyogiayanya memasukkan kedelapan ciri kepedulian yang diberikan MC Raugust (1992). Satu, etika kepedulian mengutamakan hubungan saling peduli terhadap orang lain. Dua, orang dalam situasi khasnya masing-masing dapat menerima dan memberikan kepedulian itu. Tiga, menjunjung tinggi individulisme. Maksudnya, masing-masing individu sesama pelajar, wartawan, atau siapapun juga wajib diterima sebagai pribadi yang unik dan karena itu mereka
saling membutuhkan satu sama lain. Konsekuensinya, manusia harus mengutamakan saling memberi dan menerima saja kebaikan orang lain. Empat, etika ini berfokus pada pribadi yang konkret, bukan pada sosok yang tak berwajah atau anonym. Lima, keputusan diambil berdasarkan universalitas situasi dan kondisi. Enam, hubungan antar manusia dipandang sebagai proses jangka panjang, bukan jangka pendek. Tujuh, kebaikan (virtue) lebih diutamakan daripada kewajiban berlaku adil (justice). Delapan, perasaan peduli haruslah diikuti dengan aksi yang mensyaratkan kompetensi atau kemampuan untuk melaksanakan aksi tersebut.[4]
Menganalisis
Video Anak di Bawah Umur sedang Menghisap Lem
di Lihat dari :
1. Faktor Penyebab Anak melakukan hal tersebut?
2. Paradigma IPS?
3. Perilaku Sosial
Jawaban :
1. Faktor Penyebab Anak melakukan hal tersebut?
Dilihat dari video tersebut adalah anak dibawah umur yang seharusnya ada di lingkungan sekolah bukan berada di jalanan untuk bekerja. Di video itu, anak itu sedang memegang koran, yang jelas-jelas berarti dia bekerja sebagai loper koran. Serta dengan asiknya mereka melakukan hal yang tidak seharusnya mereka lakukan yaitu menghisap lem, yang akibatnya itu sangatlah berdampak pada kesehatan yaitu pada pernafasannya. Hal ini sungguh-sungguh menghawatirkan bagi anak bangsa, yang harusnya dilindungi oleh orang tuanya malah diharuskan untuk bekerja demi menghidupi keluarganya. Akibat dari ini pergaulan anak tidak terkontrol oleh orang tuanya, karena berada di lingkungan yang mungkin dapat merubah prilakunya. Banyak penyebab dari anak di bawah umur melakukan hal tersebut yaitu diantaranya:
1. Faktor pertama yaitu karena peranan keluarga atau orang tua yang seharusnya menjaga dan mendidik anak tersebut untuk melakukan hal-hal yang positif tidak dilakukan oleh orang tuanya.
2. Faktor ekonomi yaitu dari hal tersebut anak bisa prustasi karena apa yang dia inginkan tidak terpenuhi, malah dia harus bekerja keras demi menapkahi keluarganya.
3. Faktor lingkungan dia berada yaitu jika lingkungannya tidaklah baik maka dia akan mengikuti apa yang di lakukan oleh orang tersebut. Karena pada umur itu anak selalu mengikuti atau meniru apa yang dilakukan oleh orang lain..
4. Faktor pemerintah yaitu pemerintah seharusnya tegas terhadap pekerja-pekerja anak dibawah umur, seharusnya memberikan kesempatan terhadap mereka untuk merasakan duduk dibangku sekolahan. Jangan biarkan mereka terlantar sehingga membuat mereka prustasi dan melakukan hal-hal negatif.
5. Serta kurangnya pemahaman agama pada anak yang menjadikan meraka menyimpang dari aturan normatif serta kaidah-kaidah yang ada.
2. Paradigma IPS?
Dilihat dari paradigma ips yaitu dari tujuan-tujuanpendidikan . Seperti yang ada dalam pasal 4 UU No. 2/1989 maupun GBHN serta cita-cita proklamasi, yaitu "bangsa yang cerdas”. Di situ tampak bahwa pendidikan untuk mengembangkan warga negara yang cerdas adan baik memberi indikasi belum banyak diperankan dan dikembangkan secara optimal.
Serta bila dilihat secara instrumental, sesungguhnya seperti juga dirujuk oleh Soedijarto (1999;11-12) dalam UU SPN No. 2/1989 kualitas warga negara Indonesia yang diharapkan dapatt dikembangkan itu telah digariskan dengan tegas. Dalam pasal 4 tentang tujuan Pendidikan Nasional dikemukakan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan “ mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhann Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memliiki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Kemudian dalam pasal 13 ayat 1 mengenai fungsi Pendidikan Dasar juga digariskan dengan tegas bahwa pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat dan seterusnya”.
Disinalah kita bisa menyimpulkan bahwa pendidikan tersebut sangat perperan penting dan sangatlah berguna demi kelangsungan kehidupan dan bernegara. Namun, kenyataannya salah anak-anak yang seharusnya bersekolah malah bekerja yang mengakibatkan meraka melakukan hal-hal yang menyimpang. Seperti halnya pada video tersebut anak-anak dengan asiknya menghisap lem. Dimanakah peranan orang tua yang seharusnya mendidik dan menjaga mereka. Serta orang tua harusnya sejak dini memberikan pengetahuan tentang agama tanamkan pemahaman agama yang kuat kepada mereka, sehingga dimana pun dia berada dia tidak akan melakukan hal-hal yang negatif. Peran keluarga dan pemerintah yang harusnya menjadi orang yang paling berperan penting bagi masa depan mereka malah menjadikan mereka menjadi orrang-orang yang tidak berprestasi dan berahlaq serta berbudi pekerti. Keluarga hanya memikirkan bagaimana mereka untuk makan dan makan tanpa ingin berusaha sebagai keluarga atau orang tua. Sedangkan pemerintah sendiri hanya sibuk dengan hartanya, tahtanya, dan wanita. Mereka tidak memikirkan bagaimana nasib anak bangsa sekarang ini. Maka dari itu kita sebagai pemuda penerus bangsa harus lebih memerhatikan hal-hal seperti ini, kita tidak boleh diam karen kalau bukan kita siapa lagi.
3. Perilaku Sosial
Dilihat dari perilaku sosial anak-anak tersebut melanggar norma, serta menyimpang dari kaidah-kaidah yang ada. Peyimpangan terhadap kaidah-kaidah dan nilai-nilai dalam masyarakat disebut deviation, serta orang yang berperilaku menyimpang disebut deviants. Disini juga terdapat faktor imitasi yang bersifat negatif yaitu sesorang melakukan tindakan peniruan secara sadar atau tidak terhadap perilaku orang lain. Contohnya dalam video tersebut dia melakukan itu karena asal mulanya melihat orang lain yang lebih dewasa dari dia. Tanpa dia tahu apa akibat yang ditimbulkan atau dilakukan olehnya itu.[5]
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi_Bloom (diunduh pada tanggal 15/03/2013)
[2] http://Irmalia-agustina-fisip12.web.unair.ac.id/artikel-detail-63967-PIHI%20SOH%20 nasionalisme%20kelompok.html (diunduh pada tanggal 15/03/2013)
[3] http://dimasriskyanto.blogspot.com/2012/12/nasionalisme-makna-cinta-kebenaran.html (diunduh pada tanggal 15/03/2003)
[4] http://fzrbassist.blogspot.com/2012/10/solusi-alternatif-meminimalkan-tawuran.html
[5] Udin S. Winataputra, dkk. 2007. Materi dan Pembelajaran IPS SD. Jakarta : Universitas Terbuka. hal : 1.27-1.28 dan 2.5-2.9.
0 komentar:
Posting Komentar