MAKALAH
PENDIDIKAN IPS SD 1
tentang
ETNISITAS dalam PEMBENTUKAN “NATION AND CHARACTER BUILDING”
Disusun oleh :
Kelas D
Rosi windiyani R. (06.316.1111.160)
Esa nurlaela (06.316.1111.156)
Linda lindiawati (06.316.1111.146)
DEDE ERNI (06.316.1111.163)
Yosep anggara S. (06.316.1111.158)
Enen suherti (06.316.1111.142)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI
Jl. R. Syamsudin, No. 50 Sukabumi Tlp. (0266) 218345, Fax. (0266) 218342
Website : www.ummi.ac.id E-mail : info_ummi@yahoo.com
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah semua materi Bahasa Indonesia yang merupakan salah satu syarat untuk menentukan dan memperoleh nilai pada Mata Kuliah Pendidikan IPS di SD di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sukabumi.
Seiring dengan itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak Dosen yang memberikan Mata kuliah ini, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kesehatan serta rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.
Penulis menyadari bahwa penyusunan Makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan pembuatan Makalah di masa yang akan datang. Akhir kata semoga Makalah ini dapat dapat berguna bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca umumnya.
Sukabumi, Oktober 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................. 1
DAFTAR ISI................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang.......................................... 3
B. Rumusan Masalah................................….. 3
C. Tujuan....................................................... 4
D. Sistematika Penulisan...........................….. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................... 8
A. Pengertian Etnis/Suku
B. Pengertian Etnisitas
C. Nation and character building
D. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
BAB III PEMBAHASAN.......................... 15
A. PENGARUH etnisitas dalam pembentukan “ Nation and Character Building”
B. Pengaruh perubahan kebudayaan suatu etnis dalam pembentukan “ Nation and Character Building”
C. Konsep kebudayaan dalam pembentukan “Nation and Character Building”
D. Dampak kasus-kasus yang ada di Indonesia terhadap “Nation and Character Building”
E. Pengaruh potensi orang Tionghoa WNI dalam pembangunan
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan............................................. 16
B. Saran..................................................… 16
DAFTAR PUSTAKA...........................…...17
BAB I
PENDAHULUAN
1) Latar Belakang
Masyarakat dan bangsa Indonesia adalah sebuah masyarakat yang amat majemuk dari segi suku, agama, dan golongan. Kemajemukan multidimensi seperti ini, terutama sekali kemajemukan dari segi agama, memendam potensi konflik, yang sewaktu-waktu dapat meledak jika kemajemukan itu tidak dikelola dengan arif. Walaupun bagi bangsa kita kemajemukan itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan, sebagaimana yang dialami bangsa-bangsa lain, tapi realitas kemajemukan itu sendiri seringkali merapakan persoalan besar yang pada gilirannya dapat ikut memperlemah persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam hal ini etnisitas masih jadi kajian tentang identitas bangsa, karena keragaman adat dan etnis dalam konteks persatuan yang dicitakan oleh idealisme kuasa. Konsepsi nusantara inilah yang menjadi model, bagaimana etnisitas menjadi penanda pluralitas, namun dibingkai dalam semangat integrasi maupun bayang-bayang kekuasaan. Etnisitas sangat berperan penting dalam pembentukan “ Nation and Character Building ”, seperti yang disebutkan diatas bahwa etnisitas itu sebagai identitas bangsa yang tidak akan bisa dihilangkan.
Namun permasalahannya bagaimana pengaruh etnisiats itu terhadap pembentukan “ Nation and Character Building ” itu sendiri. Karena berbagai konflik yang dikategorikan sebagai berbau SARA, yang pernah terjadi di beberapa daerah disebabkan karena realitas kemajemukan tidak dipahami, tidak dipedulikan dan atau tidak diberi perhatian serius. pluralisasi merupakan suatu hal yang tidak mungkin kita hindari, tetapi kita sebagai bangsa yang besar harus sekuat tenaga menjadikan pluralisasi sebagai asset bangsa bukannya media yang dapat memecahbelah kehidupan masyarakat, sosial dan keagamaan.
2) Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh etnisitas dalam pembentukan “Nation and Character Building” Indonesia?
2. Bagaimana pengaruh perubahan kebudayaan suatu etnis dalam pembentukan “ Nation and Character Building”?
3. Apakah sebenarnya yang tercakup dalam konsep kebudayaan dalam pembentukan ‘ Nation and Character Building”?
4. Bagaimana dampak kasus-kasus kekerasan dan korupsi terhadap “Nation and Character Building”?
5. Bagaimana pengaruh potensi orang Tionghoa WNI dalam pembangunan?
3) Tujuan
Sebagaimana yang telah di uraikan sebelumnya, berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1) untuk mengetahui arti dari etnis, etnisitas, dan nation and character
2) untuk mengetahui pengaruh etnisitas dalam pembentukan “Nation and Character Building” Indonesia
3) untuk mengetahui pengaruh etnisitas itu sendiri.
4) Untuk mengetahui unsur-unsur dari kebudayaan.
5) untuk membahas cara penyelesaian masalah atau soal dengan menggunakan rumus yang terdapat pada makalah ini.
4) Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Halaman judul
Kata pengantar
Daftar isi
BAB I Pendahuluan
1. latar belakang
2. Rumusan masalah
3. Maksud dan tujuan penulisan
4. Sistematika penulisan
BAB II Tinjauan Pustaka
BAB III Pembahasan
BAB IV Kesimpulan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1) Pengertian Etnis/Suku
Etnis atau suku bangsa adalah tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, sebagai kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat oleh orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan. Seorang warga dari suatu kebudayaan yang telah hidup dari hari kehari didalam lingkungan kebudayaannya biasanya tidak melihat lagi corak khas itu. Sebaliknya, terhadap kebudayaan tentangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama mengenai unsur-unsur yang berbeda menyolok dengan kebudayaannya sendiri.[1]
Etnik atau ethnos dalam bahasa Yunani pada suatu pengertian dan identik dengan dasar geografis dalam suatu batas-batas wilayah dengan sistem potitik tertentu (Joseph R. Rudolf). Kata etnis menjadi suatu predikat terhadap identitas seseorang atau kelompok atau individu-individu yang menyatukan diri dalam kolektivitas (Rex, 1994:8). Karakteristik yang melekat pada satu kelompok etnis adalah tumbuhnya “perasaan dalam satu komunitas (sense of community) di antara para anggotanya sehingga terselenggaralah rasa kekerabatan. [2]
2) Pengertian Etnisitas
Etnisitas adalah pembagian kelompok berdasar ciri-ciri yang sama dalam hal budaya dan genetis serta bertindak berdasarkan pattern yang sama.
Enisitas sebagai satu karakter yang banyak ditentukan oleh karakteristik tubuh relevan untuk dianalisis ketika menampilkan diri dalam aksi-aksi politiknya. Etnisitas adalah hasil dari proses hubungan, bukan karena proses isolasi. [3]
Etnisitas adalah kelompok tersebut sedikitnya telah menjalin hubungan, kontak dengan kelompok etnis yang lain, dan masing-masing menerima gagasan dan ide-ide perbedaan di antara mereka, baik secara kultural maupun politik (Hylland, 1993:12). Dalam bahasa lain, etnisitas muncul dalam kerangka hubungan relasional, dalam interaksinya dengan dunia luar dan komunitas kelompoknya.[4]
3) Nation and character building
Nation and character building merupakan pembangunan karakter dan bangsa. Ernest Renan berpendapat, nation atau bangsa ialah suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena adanya kesadaran akan pentingnya berkorban dan hidup bersama-sama di tengah perbedaan, dan mereka dipersatukan oleh adanya visi bersama. Sedangkan arti karakter itu sendiri berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang berkarakter’ adalah orang punya kualitas moral (tertentu) yang positif. Dengan demikian, pembangunan karakter, secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk, khususnya disini bangsa yakni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut Ernest Gellner (1998:7), nation atau bangsa adalah kondisi tempat sebuah komunitas memiliki budaya yang sama, sistem ide yang sama, simbol yang sama, memiliki perkumpulan, cara bertingkah laku, dan berkomunikasi yang sama, serta mengakui bahwa mereka terikat persaudaraan atas dasar kebangsaan. Makna generik yang bersifat antrologis dan tidak normatif ini cukup relevan untuk mendefinisikan bangsa di mana pun berada meskipun perdebatan apakah bangsa itu merupakan produk zaman kuno atau efek modernisasi tidak tercakup dalam batasan ini. Dari berbagai pandangan tersebut. dapat dilihat adanya sebuah benang merah bahwa semangat untuk bersatu demi kepentingan masa depan merupakan esensi dari suatu bangsa.[5]
Ø NATION AND CHARACTER BUILDING
Nation and Character Building, secara format dapat memayungi program pembangunan nasional pada umumnya dan khususnya datam rangka character building guna menghadapi tata nilai yang semakin meluntur di datam kehidupan berbangsa dan bernegara.Untuk itu, perlu diterbitkan suatu kebijakan yang menetapkan adanya REKONSTRUKSI MORAL. Secara total, tintas agama, suku, ras, dan kepentingan.[6]
Ø Pasal 20 Pengertian “Nation and Character Building”
Harus dikembalikan kepada maknanya yang wajar, yakni usaha-usaha yang dapat menimbulkan kebanggan nasional dan dengan demikian memperkuat rasa sebagai satu bangsa yang berwatak. Kebanggan Nasional sebagai bangsa yang berwatak itu dapat dan harus dicapai melalui usaha pembangunan ekonomi yang berhasil.[7]
4) Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
1. Pengertian Paradigma
Paradigma diartika sebagai asumsi dasar atau asumsi teoritis yang umum sehingga paradigma merupakan suatu sumber nilai, hukum, dan metodologi. Sesuai dengan kedudukannya, paradigma memiliki fungsi yang strategis dalam membangun kerangka berfikir dan strategi penerapannya sehingga setiap ilmu pengetahuan memiliki sifat, ciri dan karakter yang khas berbeda dengan ilmu pengetahuan lainnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, paradigma berkembang menjadi terminologi yg mengandung pengertian sebagai sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asas, tolak ukur, parameter, serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan dan proses dalam bidang tertentu, termasuk dalam pembangunan, gerakan reformasi, maupun dalam proses pendidikan.
2. Arti Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Secara filosofis, pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional mengandung konsekuensi yang sangat mendasar, artinya, setiap pelaksanaan pembangunan nasional harus didasarkan atas nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila pancasila. Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam sila-sila pancasila dikembalikan atas dasar ontologis manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Oleh karena itu, baik buruknya pelaksanaan pancasila harus dikembalikan kepada kondisi objektif dari manusia Indonesia. Apabila nila-nilai dasar yang terkandung dalam pancasila sudah dapat diterima oleh manusia Indonesia (nasional maupun empiris), maka kita harus konsekuen untuk melaksanakannya. Bahkan, kita harus menjadikan pancasila sebagai pedoman dan tolak ukur dalam setiap aktivitas bangsa. Dengan kata lain, pancasila harus menjadikan paradigma perilaku manusia indonesia, termasuk dalam pembangunan nasionalnya.
Pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga, pribadi, sosial dan aspek ketuhanan. Pembanguna nasional yang berhasil adalah pembanguna berdasarkan pancasila yaitu pembangunan yang dijiwai dan sesuai dengan nilai-nilai pancasila.
Pancasila sebagai paradigma pembanguna sosial-budaya, berdasarkan sila ke-2 kemanusiaan yang adil dan beradab, pembangunan sosial-budaya diharapkan mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan yang sesuai dengan sila ke-3 persatuan Indonesia yaitu pembangunan sosial-budaya yang dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai-nilai sosial dan budaya yang beragam menuju tercapainya rasa persatuan bangsa dan nasionalisme. Agar tidak terjadi diskriminasi, ketidakadilan dan kesenjangan sosial, maka diperlukan adanya pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga negara.[8]
BAB III
PEMBAHASAN
1. PENGARUH Etnisitas dalam pembentukan “ Nation and Character Building”
Yang menjadi pengaruhnya, adalah rasa kebersamaan dan saling memiliki satu sama lain sehingga mempersempit rasa keegoisan antar suku bangsa atau etnis sehingga pembangunan karakter bangsa menjadi baik, serta berkembang.
Dalam hal ini etnisitas berpengaruh pada kuatnya pembentukan pola pikir masyarakat, budaya dan adat istiadat. Sebenarnya kuatnya etnisitas tidak pasti mendukung pada proses “Nation and Character Building”di Indonesia karena menciptakan pemahaman yang berbeda-beda dalam melihat, membentuk paham kebangsaan. Dimana pluralisme di Indonesia tidak hanya jadi aset namun jadi tantangan dalam usaha memersatukan bangsa dan pembentukan karakter bangsa. [9]
2. Pengaruh perubahan kebudayaan suatu etnis dalam pembentukan “ Nation and Character Building”
Perubahan suatu lingkungan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan kebudayaan, dan perubahan kebudayaan dapat pula terjadi karena mekanisme lain seperti munculnya penemuan baru atau invention, difusi dan akulturasi. Kebudayaan mengenal ruang dan tempat tumbuh dan berkembang, serta mengalami perubahan, penambahan dan pengurangan. Manusia tidak berada pada dua tempat atau ruang sekaligus, dan ia hanya dapat pindah ke ruang lain pada masa lain. Pergerakan ini telah menyebabkan persebaran kebudayaan, dari masa ke masa dan dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai akibatnya diberbagai tempat dan waktu yang berlainan dimungkinkan adanya unsur-unsur persamaan disamping perbedaan-perbedaan. Oleh karenanya, di luar masanya suatu kebudayaan dipandang akan ketinggalan zaman atau anakronistik karena berada di luar, dan karena di luar tempatnya maka dipandang asing atau janggal.
Dengan kebudayaan yang dimilikinya, suatu masyarakat akan mengatur prilaku mereka dalam hubungannya dengan lingkungannya, demikian pula dalam interaksi sosial maupun dengan dunia supernatural mereka. Jika terjadi suatu perubahan kebudayaan maka tidak selalu berada pada tingkat perubahan yang sama; suatu waktu ada perubahan besar dalam suatu kebudayaan, sementara itu pada kebudayaan lainnya hanya ada sedikit perubahan. Oleh karenanya masalah tersebut merupakan masalah penting bagi para ahli antropologi; dan upaya mengklasifikasikan data dan kemudian menganalisisnya, tak lain untuk dapat lebih memahami fenomena perubahan dan stabilitas dari suatu kebudayaan.
Berbagai perubahan sosial dan kebudayaan, akan berakibat menguntungkan atau merugikan. Suatu perubahan yang terjadi mengharuskan perlunya memodifikasi pola tingkah laku. Dalam menghadapi lingkungan fisik, Sahlins (1977) mengatakan bahwa manusia cenderung mendekatinya melalui budaya yang dimilikinya, yaitu sistem simbol, makna dan sistem nilai. Karenanya suatu deskripsi tentang konsepsi kebudayaan sebagai hasil adaptasi, sebagai akibat tekanan ekologis dan demografis, seperti dikatakan oleh Rogers M. Kessing (1971); kurang melihat arti penting sistem simbolik yang biasanya dipergunakan manusia untuk memecahkan masalah yang mendasarkan kerangka pemikiran mereka. Manusia lebih menginginkan makanan daripada protein, mereka lebih menciptakan pola-pola perkawinan daripada memikirka aspek demografi; dan secara tak langsung mereka juga memahami fenomena alam seperti hujan, suhu, tumbuhan, binatang, kelahiran dan kematian, yang kemudian diklasifikasikan dan diinterpretasikannya.[10]
· Perubahan nya yaitu perubahan kebudayaan dari bentuk-bentuk sederhana ke bentuk-bentuk yang lambat laun menjadi kompleks. [11]
3. Konsep kebudayaan dalam pembentukan ‘ Nation and Character Building
Banyak orang yang mengartikan konsep itu dalam arti yang terbatas ialah pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan. Dengan singkat : kebudayaan adalah kesenian. Dalam arti seperti itu konsep itu memang terlampau sempit.
Sebaliknya, banyak orang yang terutama para ahli ilmu sosial, mengartikan konsep kebudayaan itu dalam arti yang amat luas yaitu seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Konsep itu adalah amat luas karena meliputi hampir seluruh aktifitas manusia dalam kehidupannya.
Karena demikian luasnya, maka guna kepeluan analisa konsep kebudayaan itu perlu dipecah lagi kedalam unsur-unsurnya. Unsur- unsur tersebut antara lain :[12]
Unsur-Unsur Kebudayaan
Menurut C. Kluckhohn yang dikutif Koentjaraningrat (1990: 203-204), terdapat 7 unsur kebudayaan:
· Bahasa
Kemampuan berbahasa adalah ciri khas dari mahluk yang namanya manusia. Kebutuhan-kebutuhan akan kemampuan berbahasa sejalan dengan kebutuhan akan interksi sosial. Interaksi sosial disini tidak hanya interaksi antar individu dalam kelompok, tetapi juga dalam kelompok lain. Oleh karena itu, bahasa alat komunikasi yang mempunyai kaitan erat dengan proses perubahan masyarakat dan kebudayaan. Bahasa dibedakan atas tiga bagian:
o Bahasa isyarat, misalnya bunyi keuntungan, gerakan tangan, anggukan atau gelengan kepala dan isyarat lainnya yang diterima berdasarkan kesepakatan suatu masyarakat.
o Bahasa Lisan yang diucapkan oleh mulut.
o Bahasa tulisan melalui buku, gambar, surat dan koran.
· Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan merupakan salah satu unsur kebudayaan universal yang dapat di temukan dalam semua kebudayaan dari semua bangsa yang ada dimuka bumi ini. Sistem pengetahuan itu mencakup semua pengetahuan yang dimiliki anggota suatu masyarakat tentang alam, tumbuhan, binatang, ruang dan waktu, suku bangsa atau bangsa yang bersangkutan. Sistem pengetahuan itu timbul akibat kebutuhan-kebutuhan praktis dan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia didalam kehidupan sehari-hari, serta digunakan oleh manusia untuk keperluan praktis seperti untuk bercocok tanam, berburu, berlayar dan lain-lain. Sistem pengetahuan biasanya erat kaitannya dengan seluruh aktifitas manusia dalam kehidupannya.
· Organisasi Sosial
Dalam tiap masyarakat, kehidupan masyarakat diorganisasi atau diatur oleh adat istiadat dan aturan-aturanmengenai berbagai kesatuan didalam lingkungan dimana ia hidup dan bergaul. Kesatuan sosial yang paling dekat dan mesra adalah kesatuan kerabatnya, yaitu keluarga inti (nuclear family).
Keluarga merupakan unit terkecil dan masyarakat sebagai sath kesatuan. Dalam system social terdapat pengaturan tentang perkawinan, tempat tinggal dan system kekerabatan keluarga mengatur jaringan social antara individu berdasarkan perkawinan (affinity) dan hubungan berdasarkan keturunan darah (consanguity) perkawinan akan menghasilkan keluarga inti (nuclear family). Patta setiap masyarakat mempunyai aturan tentang denga siapa anggotanya boleh dan tidak boleh melangsungkan perkawinan.
· Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi.
Dalam kehidupan, manusia tidak lepas dan adanya teknologi. Artinya, bahwa teknologi merupakan keselunuhan cara yang secara rasional mengarah pada cirri efisiensi dalam setiap kegiatan manusia. Anglin mendefinisikan teknologi sebagai penerapan ilmu ilmu perilaku dan alam serta pengetahuan lain secara bersistem dan untuk memecahkan masalah. Ahli lain, Kast dan Rosenweig menyatakan “Technology is the Art of Utilizing Scientific Knowledge”, sedangkan Iskandar Alisyahbana (1980:1) merumuskan lebih jelas dan lengkap mengenai teknologi yaitu “Teknologi ialah cara melaku kan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan alat dan akal sehingga seakan-akan memperpanjang, memperkuat atau membuat lebìh ampuh anggota tubuh, panca indra dan otak manusia”.
· Sistem Mata Pencaharian Hidup.
Perhatian para ahli Antroplogi terbadap berbagai macam system pencaharian atau system ekonomi pada awalnya hanya terbatas kepada system yang bersifat tradisional,
terutama dalam rangka perhatian mereka terhadap kebudayaan suatu suku bangsa secara holistik. Berbagai system tersebut adalah berburu dan meramu, berternak, becocok tanam diladang, menangkap ikan, dan bercocok tanam menetap dengan irigasi.
· Sistem Religi.
Pada hakekatnya unsur kebudayaan yang disebut religi adalah amat kompleks, dan
berkembang di berbagai tempat di dunia, yang dimaksud system religi disini adalah system kepercayaan yang timbul di masyarakat disebabkan oleh adanya suatu kekuatan diluar nalar manusia tersebut, seperti adanya kekuatan yang menyebabkan meletusnya gunung, gempa dan lain-lain, yang kesemua fenomena tersebut awalnya diluar nalar manusia. Sungguhpun demikian, kalau kita tinjau sebanyak mungkin bentuk religi dan sebanyak mungkin suku bangsa di dunia maka akan tampak adanya 4 unsur pokok dan religi pada umumnya, ialah:
a. Emosi keagamaan atau getaran jiwa yang menyebabkan manusia menjalankan kelakuan religi.
b. System kepercayaan atau bayanganbayaflgan manusia tentang bentuk dunia, alam ghaib, hidup, mati, surga, neraka.
c. sistem upacara keagamaan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia ghaib berdasarkan atas sistem kepercayaan tersebut.
d. Kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengkonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem upacara-upacara keagamaannya.
· Kesenian.
Kesenian merupakan unsur kebudayaan universal yang suclah pasti akan didapatkan pada semua kebudayaan, semua bangsa yang hidup dimuka bumi ini. Baik bangsa yang hidup terpencil, maupun bangsa-bangsa yang sudah maju. Demikian juga bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk yang terdiri dan beberapa suku bangsa dan mendukung kebudayaan yang berbeda-beda itu tampak bahwa setiap suku bangsa itu mengembangkan bentuk-bentuk dan jenis-jenis kesenian yang beraneka ragam. Kesenian sebagai salah sa.tu unsur kebudayaan, khususnya dalam kehidupan suku bangsa-suku bangsa di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan aktivitas kehidupan lainnya, baik kehidupan spiritual, upacara religi dan adat, maupun aktivitas lainnya, seperti akivitas bercocok tanam, mendinikan rumah, dan menghormati serta menjamu tamu. Kesenian sering diartikan sebagai sarana atau alat mencurahkan perasaan keindahan manusia.
Bagan Kerangka’Kesenian menurut Koentjaraningrat.
Seni rupa: 1. Seni patung.
2. Seni Relif Seni Tari
3. Seni Lukis dan gambar
4. Seni Rias
Seni Drama
Seni Suara: 1. Serti vocal.
2. Seni instrumental. Prosa
3. Seni sastra.
Puisi[13]
4. Dampak kasus-kasus yang ada di Indonesia terhadap “Nation and Character Building”
v Perkembangan pada bangsa indonesia pada masa ini terdapat kemajuan akan tetapi tidak dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan kenyataannya.bahkan banyak kasus-kasus yang bermunculan, sehingga menghambat pembentukan “nation and character building”.
v Dampaknya adalah melemahkan pembangunan bangsa dalam segala hal terutama dalam keamanan dan pembangunan karakter bangsa itu sendiri. Contoh kasusnya seperti kasus Bank Century, yang saat ini belum ada kejelasan dan kepastian bagaimana penyelesaiannya.
v Kerukunan antar suku bangsa tidak harmonis dan berujung perkelahian.[14]
v Dampak terhadap pembangunan karakter bangsa
S Krisis Jati Diri Bangsa
Krisis jati diri bangsa dimulai dari krisis jati diri individu yang kemudian menjadi krisis kolektif. Secara umum krisis jati diri bangsa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu, ketidakmampuan mengenal diri dan berasal dari pengaruh luar.
S Krisis Ideologi
Kegagalan melakukan (inner journey) dalam menemukan jati diri akan mengakibatkan pula ketidakpahaman alasan pribadi dimana akan muncup pertanyaan bahwa mengapa manusia membutuhkan sebuah ideologi sehingga manusia tidak lagi memiliki dorongan untuk memiliki ideologi yang cocok dengan jati dirinya. hal ini perlu dipahami bahwa ideologi adalah sebuah instrumen yang dibutuhkan menjadi “pegangan” dari sebuah jati diri, sehingga ideologi menjadi sebuah kebutuhan bukan doktrin.
S Krisis Karakter
Karakter sesungguhnya adalah aplikasi konkret dari nilai-nilai sebuah jati diri. jati diri bersifat nonmaterial atau spiritual sedangkan karakter adalah “tangible” yang bersifat fisik spiritual yang sudah berada pada dimensi luar. Inilah output dari sistem ideologi dan penemuan jati diri. jadi krisis jati dirilah sumber dari semua krisis karakter bangsa. Karakter yang mengalami krisis adalah karakter yang telah keluar dari batas-batas garis orbit suara hati yang bersifat universal dan spiritual. Krisis karakter adalah perilaku yang bertolak belakang dengan suara hati (self conscience) meskipun dikatakan logis.
S Krisis Kepercayaan
Krisis kepercayaan sesungguhnya terjadi karena tidak adanya “value” dan “basic principle” yang dapat dijadikan pegangan oleh suatu bangsa. “value” dan “basic principle” yang ada pada masyarakat bersifat global dan universal, ia tidak hanya menjadi nilai dan hukum alam akan tetapi tertulis juga pada kalbu manusia pada dimensi spiritual (God Spot) berupa kehendak Ilahiah (will). Jadi, krisis kepercayaan adalah krisis keyakinan akan eksistensi Tuhan Sang Pemilik Nilai. [15]
5. Pengaruh potensi orang Tionghoa WNI dalam pembangunan
Di dalam masa pembangunan ini, patutlah kita memikirkan untuk mengerahkan segala potensi yang ada pada bangsa Indonesia. Di dalam menghadapi suku-suku bangsa dan golongan minoritas yang banyak terdapat di Indonesia ini, pemerintah Indonesia perlu memperhatikan potensi-potensi yang ada pada suku-suku bangsa atau golongan-golongan Tionghoa di Indonesia. Masalah yang pertama-tama dihadapi adalah masalah integrasi dan golongan itu. Hal ini penting untuk menjamin kerja sama yang harmonis antara golongan ini dengan orang Indonesia lainnya.
Di Indonesia, proses integrasi antara suku-suku-bangsa memang sudah dimulai, tetapi masih terlampau lambat, antara lain karena kurang pengetahuan dan toleransi terhadap kebudayaan dan suku-bangsa atau golongan lain yang dihadapi dan karena perasaan superioritet pada individu-individu dari satu golongan terhadap golongan yang lain.
Di dalam pengerahan potensi dari tiap-tiap suku bangsa atau golongan maka haruslah kita melihat potensi yang ada pada mereka. Golongan keturunan Tionghoa di Indonesia dapatlah kita anggap mempunyai suatu bagian besar diantara mereka, yang memiliki kepandaian dalam perdagangan. Kepandaian itu perlulah kita manfaatkan dalam sektor-sektor pembangunan ekonomi sekarang ini. Sifat keuletan dalam berusaha adalah memang sesuatu sifat yang dinilai tinggi diantara pedagang-pedagang keturunan Tionghoa itu. sifat inilah perlu diperdalam dan dicontoh.[16]
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Etnis atau suku bangsa adalah tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, sebagai kota, sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat oleh orang luar yang bukan warga masyarakat bersangkutan. Seorang warga dari suatu kebudayaan yang telah hidup dari hari kehari didalam lingkungan kebudayaannya biasanya tidak melihat lagi corak khas itu. Sebaliknya, terhadap kebudayaan tentangganya, ia dapat melihat corak khasnya, terutama mengenai unsur-unsur yang berbeda menyolok dengan kebudayaannya sendiri. Etnisitas adalah pembagian kelompok berdasar ciri-ciri yang sama dalam hal budaya dan genetis serta bertindak berdasarkan pattern yang sama. Nation and character building merupakan pembangunan karakter dan bangsa.
Menurut Ernest Gellner (1998:7), nation atau bangsa adalah kondisi tempat sebuah komunitas memiliki budaya yang sama, sistem ide yang sama, simbol yang sama, memiliki perkumpulan, cara bertingkah laku, dan berkomunikasi yang sama, serta mengakui bahwa mereka terikat persaudaraan atas dasar kebangsaan. Makna generik yang bersifat antrologis dan tidak normatif ini cukup relevan untuk mendefinisikan bangsa di mana pun berada meskipun perdebatan apakah bangsa itu merupakan produk zaman kuno atau efek modernisasi tidak tercakup dalam batasan ini. Dari berbagai pandangan tersebut. dapat dilihat adanya sebuah benang merah bahwa semangat untuk bersatu demi kepentingan masa depan merupakan esensi dari suatu bangsa.
Jadi yang menjadi pengaruhnya, adalah rasa kebersamaan dan saling memiliki satu sama lain sehingga mempersempit rasa keegoisan antar suku bangsa atau etnis sehingga pembangunan karakter bangsa menjadi baik, serta berkembang. Dalam hal ini etnisitas berpengaruh pada kuatnya pembentukan pola pikir masyarakat, budaya dan adat istiadat. Sebenarnya kuatnya etnisitas tidak pasti mendukung pada proses “Nation and Character Building”di Indonesia karena menciptakan pemahaman yang berbeda-beda dalam melihat, membentuk paham kebangsaan. Dimana pluralisme di Indonesia tidak hanya jadi aset namun jadi tantangan dalam usaha memersatukan bangsa dan pembentukan karakter bangsa.
2. Saran
Dalam membuat makalah ini kami apa itu etnis, etnisitas, dan nation and character building agar kami dapat dengan mudah membuat karangan dengan baik dan benar. Semoga penjabaran diatas bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat, 1990. PENGENTAR ILMU ANTROPOLOGI. Jakarta: PT RINEKA CIPTA, hal: 263.
Abdilah Ubed S, 2002. Politik Identitas Etnis:Pergulatan tanda tanpa Identitas. Magelang: Yayasan IndonesiaTera (Anggota IKAPI). hal: 15
Abdilah S, 2002. Politik Identitas Etnis:Pergulatan tanda tanpa Identitas. Magelang: Yayasan IndonesiaTera (Anggota IKAPI). hal: 15
Di kutif dari Hylland, (1993:12) dalam Buku Ubed Abdilah S, 2002. Politik Identitas Etnis:Pergulatan tanda tanpa Identitas. Magelang: Yayasan IndonesiaTera (Anggota IKAPI). hal: 16
Endang Turmudi, 2006. Masyarakat Indonesia: Majalah-majalah Ilmu Sosial Indonesia. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. hal: 46.
Soemarno Soedarsono, 2007. Membangun Kembali Jati Diri Bangsa. Yogyakarta: Felix Media Komputer. hal: 53.
Widjojo Nitisastro, 2010. Pengalaman Pembangunan Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. hal: 64.
Fifi Purnama Dewi, S.Pd., 2006. Buku Ajar Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Citra Pustaka. hal: 22-23
Menurut Kelompok kami, 2012.
Dr. Hari Purwanto, 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pusat pelajar (Anggota IKAPI).
Koentjaraningrat, 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). hal: 89.
Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. hal: 1-2.
Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT RINEKA CIPTA. hal: 203-204.
Kelompok Kami, 2012.
Gunawan Sumodiningrat, Riant Nugroho Dwijowijoto. (2007). Membangun Kembali Jati Diri Bangsa. Jakarta: Filex Media Komputer (Yayasan Jati diri Bangsa). hal: 65
Koenjtraningrat, 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: DJAMBATAN. hal: 371-372.
[1] Koentjaraningrat, 1990. PENGENTAR ILMU ANTROPOLOGI. Jakarta: PT RINEKA CIPTA, hal: 263.
[2] Ubed Abdilah S, 2002. Politik Identitas Etnis:Pergulatan tanda tanpa Identitas. Magelang: Yayasan IndonesiaTera (Anggota IKAPI). hal: 15
[3] Ubed Abdilah S, 2002. Politik Identitas Etnis:Pergulatan tanda tanpa Identitas. Magelang: Yayasan IndonesiaTera (Anggota IKAPI). hal: 15
[4] Di kutif dari Hylland, (1993:12) dalam Buku Ubed Abdilah S, 2002. Politik Identitas Etnis:Pergulatan tanda tanpa Identitas. Magelang: Yayasan IndonesiaTera (Anggota IKAPI). hal: 16
[5] Endang Turmudi, 2006. Masyarakat Indonesia: Majalah-majalah Ilmu Sosial Indonesia. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. hal: 46.
[6] Soemarno Soedarsono, 2007. Membangun Kembali Jati Diri Bangsa. Yogyakarta: Felix Media Komputer. hal: 53.
[7] Widjojo Nitisastro, 2010. Pengalaman Pembangunan Indonesia. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. hal: 64.
[8] Fifi Purnama Dewi, S.Pd., 2006. Buku Ajar Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Citra Pustaka. hal: 22-23
[9] Menurut Kelompok kami, 2012.
[10] Dr. Hari Purwanto, 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pusat pelajar (Anggota IKAPI).
[11] Koentjaraningrat, 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press). hal: 89.
[12] Koentjaraningrat, 1974. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. hal: 1-2.
[13] Koentjaraningrat, 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT RINEKA CIPTA. hal: 203-204.
[14] Kelompok Kami, 2012.
[15] Gunawan Sumodiningrat, Riant Nugroho Dwijowijoto. (2007). Membangun Kembali Jati Diri Bangsa. Jakarta: Filex Media Komputer (Yayasan Jati diri Bangsa). hal: 65
[16] Koenjtraningrat, 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: DJAMBATAN. hal: 371-372.
0 komentar:
Posting Komentar